Aliran-Aliran serta Gerakan-Gerakan Pendidikan di Indonesia
Assalamualaikum Wr.Wb. Halo teman-teman! Bagaimana kabar kalian? Semoga selalu sehat ya. Pada kesempatan kali ini saya akan kembali membahas mengenai 'Pendidikan'. Lalu apa sih pokok bahasan kali ini? Yap! sesuai dengan judulnya kali ini saya akan membahas mengenai 'Aliran-Aliran serta Gerakan-Gerakan Pendidikan di Indonesia'. Tanpa berlama-lama lagi mari kita masuk ke pokok bahasan. Selamat membaca!
Proses pendidikan berada dan berkembang
bersama perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya merupakan
proses yang satu (Nanuru, 2013). Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam
kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan,
pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan di dalam
masyarakat senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan
generasi yang sejalan dengan tuntutan, perkembangan dan kemajuan masyarakat
dari zaman ke zaman (Nadirah, 2013). Mengingat perkembangan kehidupan dan
pelaksanaan pendidikan bersifat dinamis, maka gagasan-gagasan yang muncul pun
bersifat dinamis (sesuai dengan alam pikir dan dinamika manusianya). Kondisi
ini akhirnya mendorong lahirnya aliran-aliran dalam Pendidikan. Aliran
Pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan Pendidikan.
Aliran-aliran dalam pendidikan perlu
dikuasai oleh para calon pendidik karena pendidikan tidak cukup dipahami hanya
melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan
perlu dipandang pula secara holistik (menyeluruh). Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak
awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan
generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari
orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran
tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai
kini, dikenal dengan istilah rumpun aliran klasik dan aliran
(gerakan) baru.
Pada setiap aliran Pendidikan memiliki
pandangan yang berbeda dalam memangdang perkembangan manusia. Hal ini
berdasarkan atas faktor-faktor dominan yang dijadikan sebagai dasar pijakan
bagi perkembangan manusia. Untuk memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai
hal itu, maka berikut ini disajikan berbagai aliran-aliran dan gerakan-gerakan dalam
Pendidikan.
Aliran Klasik
Aliran klasik adalah pandangan hidup
yang mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan
yang abadi atau tertinggi. Sampai saat ini aliran tersebut masih sering
digunakan walaupun dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Aliran klasik dalam Pendidikan dibagi menjadi empat yaitu:
- Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empire, yang artinya pengalaman. Tokoh utama aliran ini ialah John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah “The School of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama “environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama “environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang relatif masih baru (Syah, 2002).
Locke memandang bahwa anak yang dilahirkan itu ibaratnya meja lilin putih bersih yang masih kosong belum terisi tulisan apa-apa, karenanya aliran atau teori ini disebut juga Tabularasa (a blank sheet of paper) yang berarti meja lilin putih, sebuah istilah bahasa latin yang berarti “Buku Tulis” yang kosong atau lembaran kosong. Doktrin tabula rasa menekankan arti pentingnya pengalaman, lingkungan dan pendidikan, dalam arti perkembangan manusia semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya. Sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir di anggap tidak ada pengaruhnya. Masa perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja menurut kehendak lingkungan (dalam arti luas), pengalaman dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang (Ahmadi & Uhbiyati, 1991; Thoib, 2008).
Dalam hal ini, alamlah yang membentuknya. Pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme paedagogis, karena upaya pendidikan hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi perkembangan anak, sedangkan pembawaan tidak berpengaruh sama sekali (Suryabrata, 2002; Purwanto, 2004). Aliran ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan sepenuhnya oleh faktor-faktor pengalaman yang berada di luar diri manusia, baik yang sengaja di desain melalui pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman tidak disengaja yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam sekitar. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan masa depan manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam, seperti bakat dan keturunan tidak mempunyai pengaruh sama sekali dalam menentukan masa depan manusia (Setianingsih, 2008).
Menurut Mudyahardjo et al (1992) empirisme dipandang sebagai hal yang
paling produktif, karena dalam dunia pendidikan lingkunganlah yang berperan
besar untuk membentuk potensi dan pengetahuan peserta didik. Ada beberapa
lingkungan yang berperan dalam proses pendidikan, diantaranya adalah lingkungan
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam proses ini inderawi sepenuhnya sangat
berperan dalam berlangsungnya proses pendidikan dan menjadi hal yang nyata
dalam praktek pendidikan. Aliran empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama
Amerika Serikat. Aliran ini dalam perkembangannya menjelma menjadi aliran/
teori belajar behaviorisme yang dipelopori oleh William James dan Large. Banyak
pula pengaruh aliran ini terhadap pandangan tokoh pendidikan Barat lainnya,
seperti Watson, Skinner, Dewey, dan sebagainya.
- Aliran Nativisme
Aliran nativisme berlawanan 180° dengan aliran empirisme. Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti kelahiran atau native yang artinya asli atau asal. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman (Ilyas, 1997). Dalam artinya yang terbatas, juga dapat dimasukkan dalam golongan Plato, Descartes, Lomborso, dan pengikut-pengikutnya yang lain.
Nativisme berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki/membawa sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan. Sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu yang bersifat keturunan (herediter) inilah yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, serta hasil pendidikan sepenuhnya (Nadirah, 2013). Aliran nativisme mengesampingkan peranan lingkungan sosial, pembinaan dan pendidikan. Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan (Nata, 2002).
Nativisme menganggap pendidikan dan lingkungan boleh dikatakan tidak berarti, tidak mempengaruhi perkembangan anak didik, kecuali hanya sebagai wadah dan memberikan rangsangan saja. Pandangan tersebut dikenal dengan pesimisme paedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aliran nativisme menolak dengan tegas adanya pengaruh eksternal. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali dalam membentuk manusia menjadi baik. Sebaliknya, kalau kita menginginkan manusia menjadi baik, maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kedua orang tuanya karena merekalah yang mewariskan faktor-faktor bawaan kepada anak-anaknya.
Nativisme jelas merupakan aliran yang mengakui adanya daya-daya asli yang telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke dunia. Daya-daya tersebut ada yang dapat tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuan manusia dan ada yang dapat tumbuh berkembang hanya sampai pada titik tertentu sesuai dengan kemampuan individual manusia (Setianingsih, 2008). Beberapa tokoh yang berhubungan dengan aliran nativisme adalah Rochacher, Rosear, dan Basedow. Rochacher mengatakan bahwa manusia adalah hasil proses alam yang berjalan menurut hukum tertentu. Manusia tidak dapat mengubah hukum-hukum tersebut. Rosear mengatakan bahwa manusia tidak dapat dididik. Pendidik malah akan merusak perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang membiarkan atau membebaskan pertumbuhan anak secara kodrati. Sementara itu, Basedow mengatakan bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas kecenderungan berkembang yang wajar dari anak.
Berdasarkan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh penganut aliran nativisme, maka dapat diklasifikasikan faktor-faktor perkembangan manusia menurut aliran nativisme, antara lain:
- Faktor Genetik, faktor genetik dari kedua orangtua
yang mendorong adanya suatu bakat yang ada pada diri manusia.
- Faktor Kemampuan Anak, merupakan faktor yang menjadikan
seorang anak mengetahui potensi yang dia miliki. faktor ini lebih nyata karena
anak dapat mengembangkan potensi yang dia miliki.
- Faktor Pertumbuhan Anak, merupakan faktor yang mendorong anak mengetahui bakay dan minatnya disetiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami.
Aliran ini juga disebut predestinatif yang menyatakan bahwa perkembangan atas nasib manusia telah ditentukan sebelumnya, yakni tergantung pada bawaan dan bakat yang dimilikinya. Aliran ini masih memungkinkan adanya pendidikan. Namun, mendidik menurut aliran ini membiarkan anak tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung kepada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki anak. Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan oleh pendidikan, tidak lebih dari sekadar memoles permukaan peradaban dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis yang mendalam dan kepribadian anak, tidak perlu ditentukan.
Menurut Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014 pasal 2 menyatakan
bahwa kegiatan ekstrakurikuler diselenggarakan dengan tujuan untuk
mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan
kemandirian peserta didik secara optimal dalam rangka mendukung perncapaian
tujuan pendidikan nasional. diharapkan pendidikan dengan cata ini dapat
mengembangkan potensi peserta didik yang ia miliki sebagai pembawaannya sejak
lahir. karena itu, pendidikan dalam hal ini hanya memfasilitasi peserta didik
agar dapat mengembangkan potensinya.
- Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi dikemukakan oleh seorang filsuf berkebangsaan Jerman bernama William Stern (1871-1939). Konvergensi yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu convergen yang artinya memusat. Dalam hal ini penganut aliran konvergensi berpendapat bahwa hasil Pendidikan tergantung dari faktor pembawaan dan faktor situasi lingkungan yang seakan-akan terdapat dua garis menuju atau memusat pada suati titik yang merupakan hasil dari Pendidikan atau perkembangan. Aliran ini ingin mengompromikan dua macam aliran yang eksterm, yaitu aliran empirisme dan aliran nativisme, dimana pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama berpengaruh terhadap hasil perkembangan anak didik.
Stern berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan merupakan dua garis yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis pengumpul), oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya merupakan hasil proses kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan, serta pendidikan (eksternal) (Djumaranjah, 2004). Aliran konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan tidak akan bisa berkembang, demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada pembawaan dari seorang anak akan berkembang ketika mendapat pendidikan dan pengalaman dari lingkungan.
Sedangkan secara psikis untuk mengetahui potensi yang ada pada anak
didik yaitu dengan cara melihat potensi yang dimunculkan pada anak tersebut.
Pembawaan yang disertai disposisi telah ada pada masing-masing individu yang membutuhkan
tempat untuk merealisasikan dan mengembangkannya. Aliran konvergensi pada
prinsipnya berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama pentingnya.
Perkembangan jiwa seseorang tergantung pada bakat sejak lahir dan
lingkungannya,
khususnya pendidikan. Peran pendidikan adalah memberi pengalaman belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Jadi menurut aliran konvergensi: (1) pendidikan dapat diberikan kepada semua orang, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan pembawaannya yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk, (3) hasil Pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan (Moerdiyanto, 2011).
Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata waktu dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau anak-anaknya cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi (Syah, 2002).
- Aliran Naturalisme
Natur atau natura artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini ada persamaannya dengan aliran nativisme (beberapa ahli menyebut dengan istilah “sama”, “hampir sama” dan “senada”. Istilah natura telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, dari dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada system total dari fenomena ruang dan waktu.
Aliran Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau. Ia mengatakan, “Segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari alam, dan segala sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di tangan manusia ”. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, maka anak tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan alam akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah sejak kelahiran anak tersebut. Dengan kata lain Rousseaue menginginkan perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat menjadi guru.
Menurut
Ilyas (1997) naturalisme bependapat bahwa pada hakekatnya semua anak manusia
adalah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang pencipta, tetapi
akhirnya rusak sewaktu berada di tangan manusia. Oleh karena itu, Rousseau
menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan
berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran terhadap
norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu untuk memberikan
hukuman, biarlah alam yang menghukumnya. Aliran naturalisme memiliki tiga
prinsip tentang proses epmbelajaran diantaranya adalah:
- Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri
- Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar atau fasilitas-fasilitas yang dapat mengembangkan potensi peserta didik misalnya kegiatan ekstrakurikuler
- Program Pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar peserta didik.
Aliran Modern
Aliran-aliran baru yang turut mempengaruhi proses pendidikan di indonesia adalah sebagai berikut :
- Progresivisme
Aliran
progresivisme mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah
berpusat pada anak didik yang berkuailitas dan terus maju (progress) sebagai
reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru dan bahan
pelajaran. Tujuan pendidikan menurut aliran ini adalah melatih anak agar
kelak dapat bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak
dan hati.
Aliran progresivisme sangat berpengaruh terhadap pemulihan harkat dan martabat anak dalam pendidikan karena anak mempunyai indidvidualitas sendiri-sendiri, mempunyai alur pemikiran sendiri,mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dana kecemasan sendiri yang berbeda dengan oerang dewasa.
- Esensialisme
Aliran esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Aliran ini berusaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala. Tujuannya adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah bertahan sepanjang waktu sehingga berharga untuk diketahui semua orang.
- Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata perenial yang artinya kekal atau abadi. sehingga perenialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat kekal. Menurut aliran ini dengan adanya ilmu pengetahuan maka seseorang dapat berpikir secara induktif artinya metode pemikiran yg bertolak dari peristiwa khusus untuk menentukan kaidah yg umum atau penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yg khusus untuk diperlakukan secara umum. Maka tujuan utama dari pendidikan menurut aliran ini adalah agar peserta didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental dan membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkannya dalam semua aspek kehidupan.
- Rekonstruksionalisme
Kata rekonstruksionalisme dalam kamus bahasa inggris berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam kontek pendidikan aliran ini adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini mengatakan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Tujuan utama pendidikan menurut aliran ini adalah untuk membagkitkan kesadaran peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah.
- Idealisme
Tujuan
pendidikan menurut aliran ini adalah agar anak didik bisa menjadi kaya dan
memiliki kehidupan yang bermakna, harmonis, penuh warna dan mampu membantu
indidvidu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan aliran
pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlu adanya
persaudaraan sesama manusia. Seseorang
tidak hanya menuntut hak pribadinya tapi juga menciptakan hubungan yang baik,
pengertian dan saling menyayangi.
Aliran Pokok Pendidikan
Aliran
pokok pendidikan di Indonesia yang dimaksud adalah Perguruan Kebangsaan Taman
Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam. Kedua aliran ini dipandang sebagai
suatu tonggak pemikiran tentang pendidikan di Indonesia.
- Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
Sementara
berlangsung pemerintahan kolonial itu, ada pula dua tokoh pemuka Indonesia sendiri
yang merintis suatu sistem persekolahan tersendiri, yang secara teknis bersifat
modern seperti sekolah-sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda, namun dalam
semangat dan isi pelajaran sangat berjiwa ketimuran dengan membawa cita-cita
kemandirian bangsa. Tokoh pertama adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat,
atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa didirikan pada tahun 1921 atau tahun Caka 1852 yang memiliki
semboyan “Lawan Sastra Ngesti Mulia”. Setahun kemudian pada 3 Juli
1922 di Yogyakarta muncul organisasi baru benama Persatuan Taman Siswa
yang memiliki semboyan “Suci Tata Ngesti Tunggal”. Secara lengkap
nama perguruan itu adalah “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa”.
Pada
tanggal 6 Januari 1923, dalam National Onderwijs Instituut Tamansiswa
dibentuk majelis yang disebut “Instituutraad”, yang bertugas
memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensinya di Yogyakarta tanggal
20-22 Oktober 1923, perguruan ini memperluas Institut menjadi Hoofdraat
(Majelis Luhur). Pada tahun 1930, National Onderwijs Instituut Tamansiswa
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa.
Dalam menjalankan proses pendidikannya dengan menggunakan “Sistem Among”
yang mendasarkan pada: Pertama, kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan
dan menggerakan kekuatan lahir batin, sehingga dapat hidup berdiri sendiri.
Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan
dengan secepatcepatnya dan sebaik-baiknya (Sulistya, 2002).
Tercatat
bahwa pada tahun 1942 cabang Taman Siswa berjumlah 199 sekolah tersebar
di beberapa daerah, terutama di pulau-pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku, dengan pada waktu itu mempunyai sekitar 650 orang guru (Hassan,
2005; Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010). Menurut Tirtarahardja & Sulo
(2005) awalnya Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dalam bentuk yayasan,
selanjutnya mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru,
selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru
(Mulo-Kweekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan sehingga meliputi
pula Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata. Dengan demikian, Taman
Siswa telah meliputi semua jenjang persekolahan, dari pendidikan prasekolah,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Falsafah
pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yang diungkapkan dalam bahasa
Jawa berbunyai: “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani”, sebagai pedoman perilaku bagi guru yang artinya: “di depan
memberi teladan, di tengah menyemangati, dan mengiringkan dari belakang sambil
memberi kekuatan”. Tokoh ini mendorong diberikannya juga bahan-bahan ajar yang
digali dari kebudayaan setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa kiprahnya dalam
penyelenggaraan pendidikan itu adalah juga merupakan suatu gerakan budaya.
Asas
dan Tujuan Taman Siswa
Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) Perguruan Kebangsaan Taman Siswa mempunyai
tujuh asas perjuangan untuk menghadapi pemerintah Kolonial Belanda serta
sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan hidup bersifat nasional, dan
demokrasi. Ketujuh asas tersebut dikenal dengan “asas 1922”, sebagai
berikut:
- Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf besschikkingsrecht) dengan mengingat terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum.
- Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
- Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
- Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
- Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan (zelfbegrotings-system).
- Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan (zelfbegrotings-system).
- Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak (berhamba pada anak didik).
Didirikannya
perguruan Taman siswa disebabkan karena keadaan pendidikan bagi
rakyat Indonesia yang sangat kurangnya pengajaran yang diberikan oleh Belanda
kepada bangsa Indonesia, pendidikannya sangat tidak sesuai dengan kepentingan
hidup bangsa Indonesia sendiri, dan bahkan meracuni jiwa anak, menanamkan jiwa
budak pengabdi kepentingan kolonial sehingga sangat mengecewakan rakyat
Indonesia. Menurut Tirtaraharda & Sulo (2005) tujuan Taman Siswa
adalah sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
tertib dan damai.
- Ruang Pendidik INS Kayu Tanam
Ruang
pendidik INS ( Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh Mohammad Sjafei pada tanggal 31 Oktober 1926
di Kayu Tanam 9 Sumatra Barat). Pada tahun 1952, dengan hanya ada 30 orang
siswa, INS mendirikan percetakan Sridharma yang menterbitkan majalah bulanan
Sendi dengan sasaran khalayak adalah anak – anak. INS Kayutanam adalah satu
sekolah modern bercorak nasional yang peranannya cukup besar pada perkembangan
dunia Pendidikan Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Halimah, 2012) Lahirnya
Ruang Pendidik INS Kayutanam tidak terlepas dari upaya Mohammad Sjafe’i
mewujudkan cita-cita dari kedua orang tua angkatnya. Ia juga didukung oleh
sebuah organisasi perkumpulan buruh kereta api yang bernama Vereeniging Bumi
Poetra Staats-Spoors (VBPSS) berkedudukan di Padang yang dipimpin oleh
Abdul Rachman. Tujuan awal pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam
adalah mendidik manusia supaya menjadi manusia, membimbing anak didik kepada
diri, dan bakat yang dimilikinya. Ruang Pendidik INS Kayutanam lebih di
kenal sebagai “Sekolah Ahli Tukang”, maksudnya lulusan Ruang Pendidik
INS Kayutanam ini setiap muridnya memiliki talenta dan kemauan untuk berkarya.
Seperti kata Mohammad Sjafe’i, murid yang datang ke INS masuk dengan satu pintu
dan keluar dengan banyak pintu. Barnadib (1983) dan Raharja (2008) menjelaskan
bahwa sekolah dari Mohammad Sjafe’i sebagai bentuk reaksi dari sekolah-sekolah
Pemerintah Hindia Belanda.
Menurut
Fhadilla (2014) pada awal berdiri nama perguruan ini memakai bahasa Belanda
yakni Indonesisch Nederlandsch School dengan kependekan INS. Maksud nama
ini menggunakan bahasa Belanda dikarenakan sewaktu berdiri negara Indonesia
berada di bawah kekuasaan Belanda agar tidak menimbulkan rasa curiga terhadap
sekolah yang didirikan oleh Mohammad Sjafe’i. Sebelumnya sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pemerintah Belanda dalam pemberian nama selalu mendahulukan kata
Hollandsch baru setelah itu kata Indonesisch. Pada masa pendudukan
Jepang, kependekan dari INS berganti arti yakni Indonesia Nippon School.
Penamaan ini bertujuan sebagai pelindung diri atas kekejaman tentara Jepang.
Pada periode kemerdekaan Indonesia, kependekan dari INS berubah menjadi Indonesia
National School, nama ini sesuai dengan kondisi daerah Kayutanam saat itu.
Pada tahun 1972 dalam rapat Munas di Jakarta, atas usulan dari Prof. Dr.
Deliar Noer mengusulkan agar kepanjangan dari INS diganti menjadi Institut
Nasional Sjafe’i dan masyarakat Kayutanam sendiri menyebut sekolah ini
dengan sebutan “INS Kayutanam”. Pada tahun 1975 Ruang Pendidik SMA INS
Kayutanam memakai kurikulum nasional yang diintegrasikan dengan kurikulum
Mohammad Sjafe’i.
Gerakan Baru Pendidikan
- Pengajaran Alam Sekitar
Aliran
pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran
alam sekitar yang dirintis oleh Fr. A. Finger dengan heimatkunde (pengajaran
alam sekitar) di Jerman, J. Ligthart di Belanda dengan Het Volle Leven
(kehidupan senyatanya). Prinsip yang dianut dalam heimatkunde
yakni (Tirtarahardja & Sulo, 2005):
- Dalam pengajaran alam sekitar, guru dapat memeragakan secara langsung.
- Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyakbanyaknya agar anak berpartisipasi aktif.
- Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk diberlakukan pengajaran totalitas dengan ciri segala bahan pengajaran berhubunghubungan satu sama lain.
- Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis.
- Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional terhadap anak didik.
Sementara
Het Volle Leven memiliki prinsip sebagai berikut
(Tirtarahardja
& Sulo, 2005):
- Pengajaran alam sekitar mengajarkan anak untuk mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya.
- Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu.
- Harus diadakan perjalanan memasuki hidup agar murid paham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya.
Pada
dasarnya, banyak faktor yang mempengaruhi sistem pendidikan baik faktor yang
berasal dari dalam maupun luar. Secara makro, faktor dari luar merupakan sistem
yang berada di luar pendidikan, antara lain ideologi, ekonomi, politik, sosial
budaya, lingkungan alam, dan lain-lain. Faktor itu saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi dengan sistem pendidikan. Dengan demikian, pendidikan akan
dipengaruhi oleh bahkan berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan
alam dalam ekosistem yang lebih luas. Konsep ini mengarahkan pada pemahaman
dan pembahasan pendidikan dilihat dalam perspektif ekologi.
- Pengajaran Pusat Perhatian
Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat
Declory (1871-1932) dari Belgia dengan pengajaran melalui
pusat-pusat minat (centres d’nternet), di samping pendapatnya tentang
pengajaran global. Pendidikan menurut Declory berdasar pada semboyan ecole
pour ia vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus
dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat,
anak harus diarahkan. Oleh karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan
terhadap diri sendiri (tentang hasrat dan cita-citanya) dan pengetahuan tentang
dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari depannya). Pengetahuan anak
harus bersifat subjektif dan objektif. Penelitian secara tekun yang
dilakukan Decroly menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi
pendidikan dan pengajaran, yang merupakan dua hal yang khas, yaitu:
- Metode global (keseluruhan)
Berdasarkan
observasi dan tes, ia berpandangan bahwa anak-anak mengamati dan mengingat
secara global (keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih dulu daripada
bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas prinsip psikologi Gestalt. Dalam mengajarkan
membaca dan menulis, ternyata dengan mengajarkan kalimat lebih mudah diajarkan
daripada mengajarkan huruf-huruf secara tersendiri. Metode ini bersifat video visual
sebab arti sesuatu kata yang diajarkan itu selalu diasosiasikan dengan tanda
(tulisan) atau suatu gambar yang dapat dilihat.
- Centre d’internet (pusat-pusat minat).
Berdasarkan
penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang
spontan (sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat
spontan tersebut. Sebab apabila tidak, yaitu misalnya minat yang ditimbulkan
oleh guru, maka pengajaran itu tidak tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai
minat-minat spontan terhadap diri sendiri dan terhadap masyarakat (biososial).
Minat
terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi:
- Dorongan mempertahankan diri,
- Dorongan mencari makan dan minum dan
- Dorongan memelihara diri.
Sedangkan
minat terhadap masyarakat ialah:
- Dorongan sibuk bermain-main.
- Dorongan meniru orang lain.
Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut.
Asas-asas
Pengajaran Pusat Perhatian adalah sebagai berikut:
- Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak dalam hidup dan perkembangannya.
- Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan, tidak mementingkan bagian tetapi mementingkan keberartian dari keseluruhan ikatan bagian itu.
- Anak didorong dan dirangsang untuk selalu aktif dan di didik untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Harus
ada hubungan kerjasama yag erat antara rumah dan keluarga. Gerakan
pengajaran pusat perhatian telah mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan
belajar mengajar diadakan berbagai variasi (cara mengajar dan lain-lain) agar
perhatian siswa tetap terpusat pada bahan ajaran. Dengan kemajuan teknologi
pengajaran, peluang mengadakan variasi tersebut menjadi terbuka lebar, dan
dengan demikian upaya menarik minat menjadi lebih besar. Pemusatan perhatian
dalam pengajaran biasanya dilakukan bukan hanya pada pembukaan pengajaran,
tetapi juga pada setiap kali akan membahas sub topik yang baru.
Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) dan Sagala (2010) gerakan sekolah kerja dapat
dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan
pendidikan keterampilan dalam pendidikan. Tokoh pendidikan sekolah kerja
ini adalah G. Kerschensteiner (1854-1932) dengan konsep “Arbeitschule”
(Sekolah Kerja) di Jerman. Sekolah kerja bertolak dari pandangan bahwa
pendidikan tidak hanya demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan
masyarakat. Dengan kata lain sekolah berkewajiban menyiapkan Negara yang baik yakni:
- Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan;
- Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara;
- Dalam menunaikan kedua tugas tersebut harus diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut berbuat sesuai dengan kesusilaan serta menjaga keselamatan negara.
Tujuan
sekolah kerja ini menurut Kerschensteiner sebagai pencetus sekolah
kerja adalah
- Menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri;
- Agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu;
- Agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi Negara.
Kerschensteiner
berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk
dapat bekerja. Bekerja di sini bukan pekerjaan otak yang dipentingkan,
melainkan pekerjaan tangan (Tirtarahardja & Sulo, 2005; Sagala, 2010).
- Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran-pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengikut utamanya W. H. Kilpartrick. Pengajaran proyek memberi kebebasan pada anak untuk menentukan pilihannya, merancang serta memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak mendorongnya mencari jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran. Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam pengajaran proyek, pekerjaan dikerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa gotong-royong. Pengajaran proyek digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, antara lain dengan nama pengajaran proyek,pengajaran unit,dan sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan persoalan secara komprehensif dengan kata lain, menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah secara multidisiplin (Tirtarahardja & Sulo, 2005).
Praktek belajar dan pembelajaran dekade terakhir ini mengenalkan kita pada istilah PjBL atau Pembelajaran Berbasis Proyek. Para ahli memberi pengertian tentang PjBL. Menurut University of Nottingham, metode pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan perancangan produk dan tugas. Menurut Baron, pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya. Menurut Blumenfeld et al, pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap permasalahan nyata. Sementara itu, Boud & Felleti mengartikannya sebagai cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktivitas pelajar (Husamah, 2013).
Project Based Learning adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata. Project Based Learning pada umumnya memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi, tidak sekedar merupakan rangkaian pertemuan kelas, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner. Menurut Husamah (2013) selama berlangsungnya proses belajar dalam PjBL pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan. Narasumber bertugas menyusun trigger problems, sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan cetak atau elektronik, melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Secara umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses belajar kelompok.
Nah, itu dia penjelasan mengenai 'Aliran-Aliran serta Gerakan-Gerakan Pendidikan di Indonesia'. Saya harap, kalian semua yang membaca ini dapat mengetahui dan memahaminya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kalian semua yang membaca dan diharapkan mendapatkan pengetahuan yang baru.
Sekian pembahasan dari saya. Terima kasih 😆😊
excellent
BalasHapus